Kamis, 26 November 2015

LAHIR, HIDUP dan MATI


Spiritual Supranatural, wawasan - Hidup di dunia ini hanya sementara. Ungkapan ini terlalu sering kita baca dan kita dengar pada berbagai kesempatan. Biasanya kita pun tanpa berpikir secara jauh segera mengiyakan dan menyetujuinya. Meskipun hanya di dalam hati. Kita jarang bertanya, benarkah hidup ini hanya sementara?

Kata sementara berarti sesaat saja. Sekejap mata, sak kedipan netro. Begitu orang Jawa biasa menyebutkan sifat hidup yang tidak abadi ini. Konon, hidup di dunia laksana seorang musafir yang berjalan jauh menuju sebuah tujuan tertentu. Dia harus memiliki bekal agar tidak kelaparan dan kehausan. Bekal pun ditata, direncanakan sebaik-baiknya. Bekal itu biasanya kemudian dimiskinkan maknanya. Yaitu bekal materi saja.

Yang terjadi kemudian, agar kita sukses dalam mengarungi bahtera hidup maka kita perlu menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Agar kita tidak mengalami kesengsaraan, kemiskinan, kenistaan. Sejak usia kanak-kanak hingga dewasa, kita terus-menerus dijejali dengan pemahaman semacam ini. Beruntung, kita bertemu dengan banyak orang, tetangga, teman yang memiliki pemahaman yang sama.

Hanya sesekali kita menyadari bahwa bekal hidup yang sejati sebenarnya tidak hanya harta benda. Yaitu ketika kita masuk ke tempat ibadah, di gereja, di masjid, di pura, di kelenteng. Atau saat kita menonton acara mimbar agama di televisi.

Para ulama, pendeta, biksu, dan pemuka agama saat di mimbar akan menyerukan seruan agar kita mempersiapkan bekal hidup yang tidak hanya harta benda kekayaan, pangkat dan jabatan, karier dan pendidikan saja. Tetapi harus dilengkapi dengan ibadah-ibadah yang sudah dituntunkan oleh agama. Kita tidak diperkenankan keluar jalur agama karena nanti bisa tersesat ke jalan yang tidak berpeta. Bukankah bila kita memasuki daerah tanpa peta (kini GPS), kita akan mengalami kebingungan dan akhirnya tersesat?

Selain saat khusus itu, kita terlalu banyak meluangkan waktu untuk menikmati hidup dengan berbagai sarana kebahagiaan yang menunjang kita untuk berperilaku serba cepat, instan dan mencari kemudahan-kemudahan. Hingga pada suatu ketika, kita disadarkan adanya kepastian yang paling tidak membahagiakan.

Satu persatu, orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita. Mulai dari buyut, kakek, nenek, ayah dan ibu. Kita juga mendapati ada satu dua tetangga yang meninggal. Bahkan akhirnya, kita melihat ada bencana alam dengan korban nyawa mencapai ribuan. Ya, kita akhirnya sepakat 100 persen bahwa kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya.

“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.”

Kita pun akhirnya menyimpulkan bahwa hidup ini hanya sementara saja sehingga harus diisi dengan banyak melakukan ibadah kepada Tuhan. Benarkah hidup ini hanya sementara? Untuk menjawab ini marilah kita jalani penalaran sederhana dulu.

Manusia ini terdiri dari sesuatu yang lahir atau terlihat yaitu berupa (1) badan biologis/jasad/fisik namun juga sesuatu yang sifatnya tidak terlihat atau batiniah yaitu berupa (1) rasa, hati nurani, nafs, jiwa dan juga (2) ruh. Nah dari tiga hal yang dimiliki oleh substansi manusia ini, manakah yang hidupnya bersifat sementara dan mana yang tidak?

Ukuran hidup dan matinya badan biologis/jasad/ teramat jelas. Yaitu apabila nadi sudah tidak bergerak, gelombang otak sudah tidak terdeteksi dengan EEG, dan bila disapa sudah tidak mampu menjawab. Sehingga kita bisa langsung menyimpulkan bahwa tubuh si D harus secepatnya dimakamkan karena secara medis oleh dokter sudah dinyatakan meninggal. KESIMPULANNYA: BADAN BIOLOGIS HIDUPNYA HANYA SEMENTARA.

Yang kedua ini agak lebih sulit lagi. Apa ukuran hidup dan matinya jiwa, rasa, hati nurani? Kita akan mendapatkan jawaban yang kurang masuk akal bila matinya hati nurani ditandai dengan melemahnya fisik, tubuhnya yang kurus,..

Hidayah Iman


Hidayah Iman

Iman secara sederhana diartikan sebagai percaya adanya Allah SWT, Malaikat-Nya, Rasul-Nya, Kitab Suci-Nya, Hari Akhir (kiamat) dan takdir-Nya. Ada orang yang tidak beriman. Ada orang yang beriman. Ada yang kadang-kadang beriman namun kadang-kadang tidak. Mana yang lebih banyak apakah orang beriman atau tidak beriman, tidak ada data statistik yang akurat. Kecuali mungkin para malaikat yang setiap hari sibuk meraba-raba isi dada seseorang. Orang yang beriman dan tidak beriman susah dikenali tanda-tanda dari luar. Tidak ada tanda-tanda spesifik misalnya celananya harus pendek dibawah lutut berbaju gamis, jenggot gondrong, atau dahi hitam yang menandakan seseorang itu beriman atau tidak.

Iman ada dalam qalbu seseorang. Qalbu bukanlah hati atau jantung biologis. Qalbu adalah hati metafisik yang mampu untuk merasakan sesuatu getaran hati metafisik yang lain. Orang yang cinta dan sayang kepada sesuatu hal yang bergerak adalah qalbunya, rasanya, hatinya, jiwanya. Begitu juga dengan iman.

Iman adalah manifestasi spiritualitas seseorang yang berhubungan dengan sesuatu yang transenden (transcendere: mengatasi dirinya), adikodrati, dan mistik. Iman berhubungan dengan penghayatan diri terhadap nilai-nilai absolut yang diyakini berada di dalam diri manusia (immanere: berada di dalam) karena yang transenden mampu mendatangkan sesuatu yang lebih berkuasa dari dirinya.

Iman lebih dari sekedar percaya akan adanya sesuatu. Iman selain percaya, juga menuntut seseorang untuk ikhlas mengabdikan diri ke sesuatu tersebut sekaligus juga menunaikan hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan atas konsensus keimanannya. Keimanan saya kepada Tuhan akhirnya membawa saya pada ketaatan pada kewajiban religius yang harus ditunaikan atau juga kewajiban menghindari larangan.

Iman berasal dari cahaya petunjuk Allah yang menyinari qalbu manusia. Cahaya petunjuk dalam bahasa agama disebut hidayah. Hidayah turun karena kehendak-Nya. Petunjuk Allah sudah ada di dalam diri maupun di luar diri manusia karena Allah memiliki sifat Ar Rahman (pemberi). Namun tanpa hidayah yang merupakan hak prerogratif-Nya maka petunjuk itu tidak mampu dibaca oleh manusia. Inilah buah dari sifat Ar Rahim (Penyayang).

Kepada siapa dia menyayangi seseorang maka dia memberikan hidayah berupa iman. Hidayah ini tidak diterima oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang dipilih-Nya saja, yang diberi hidayah berupa iman. Maka, logis bila seseorang yang beriman hendaknya bersyukur. Bersyukur atas iman membawa konsekuensi bahwa seseorang itu harus menjaga serta memupuk keimanannya dengan mengimplementasikan keimanannya itu untuk kemanfaatan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain (terminologi agamanya: amal sholeh).

Semoga kita semua mampu bersyukur atas iman yang bercahaya di dada kita masing-masing dan bila belum mendapatkan hidayah iman, marilah memohon kepada-Nya agar dia secepatnya memberikan kita hidayah iman yang tidak ternilai harganya itu.